Resensi
Novel Cut Nyak Din
Judul Buku :
Cut Nyak Din
Pengarang :
Muchtarudin Ibrahim
Penerbit :
PT. Balai Pustaka
Cetakan :
2001
Tebal Buku :
98 halaman
1.
Kepengarangan
Cut Nyak Din dianggap sebagai orang yang lemah, hanya
tunduk pada perintah seorang pria, dan berdiam diri di rumah. Kaum Wanita tidak
diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, memimpin suatu
perkumpulan, atau menduduki jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Pada jaman
penjajahan Belanda di Indonesia pun, kaum Wanita hanya diperintahkan untuk
menyiapkan makanan untuk para penjajah dan tidak berani untuk melawan.
Latar belakang keluarga Cut Nyak Din ialah orang
terpandang. Ayahnya bernama Nanda Muda Seutia. Ayahnya seorang pemimpin wilayah
VI Mukim, dan Ibunya seorang keturunan wanita kebangsawan. Cut Nyak Din lahir
ketika rakyat VI Mukim sedang berselisih dengan rakyat Meuraksa. Cut Nyak Din
memiliki seorang Kakak Laki-laki bernama Teuku Rayut. Kakaknya memiliki fisik yang
kurang sempurna, sehingga Ayahnya sangat
berharap banyak pada Cut Nyak Din untuk meneruskan pemerintahan.
Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Din dinikahkan dengan
Teuku Cik Ibrahim Lamanaga. Tujuannya
untuk memperkuat pemerintahan Ayahnya. Cut Nyak Din sangat patuh
terhadap Suaminya dan senantiasa memberi semangat ketika Suaminya berperang
melawan Belanda. Semangatnya makin tertempa dan mulailah tumbuh suatu benih
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Suaminya tewas tertembak di Medan Perang.
Ketika Teuku Cik Ibrahim meninggal. Teuku Umar mampu menggantikannya Teuku Cik
Ibrahim. Cut Nyak Din bertekad untuk membalaskan dendam kepada Belanda atas
tewasnya Teuku Cik Ibrahim dalam Perang Aceh. Cut Nyak Din terus mengibarkan
semangat rakyat Aceh untuk terus memberikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di
medan perang setelah tertembak oleh tentara Belanda. Cut Nyak Din terus
melanjutkan perjuangannya untuk mengusir penjajah. Tetapi, Cut Nyak Din
berhasil ditaklukkan Belanda dan ditahan. Para pengikutnya sering mengunjungi
beliau. Karena dikhawatirkan akan muncul suatu perlawanan, akhirnya Cut Nyak
Din diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
2.
Sinopsis
Novel Cut Nyak Din
Lampadang
adalah kampung tempat kelahiran Cut Nyak Din. Luasnya kira-kira 10 Ha. Kampung
ini termaksud wilayah VI Mukim dengan ibu kotanya Paukan Bada, Wilayah VI Mukim
terletak di pantai utara bagian barat Aceh Besar. Di bagian utara wilayah ini
berbatasan dengan laut dan terdapat Uleele sebagai pelabuhannya. Antara Tanjung
dan Uleele terdapat sebuah danau yang tenang, dan dapat dipakai untuk berlabuh
perahu dan kapal. Di bagian Timur wilayah ini, yaitu yang berbatasan dengan
Meuraksa terdapat Kampung Bitae dan Lamjamu. Di bagian Selatan dan barat daerah
ini dipagari oleh Pegunungan Ngalau Ngarai Beradin. Di bagian pantainya
terdapat Kampung Lamtengah, tempat kelahiran penyair Aceh terkenal Dulkarim
(Abdul Karim). Di kampung Lampagar terdapat makam Sultan Sulaiman dan Lamtah
yang dihancurkan oleh serangan Belanda dalam tahun 1875. Di bagian Selatan
Peukan Bada, di samping Cut Cako terdapat Ngalau Ngarai Beradin, sebuah tempat
yang strategis dan menjadi tempat bertahan pejuang Aceh dan kemudian Kampung
Lampisang tempat Cut Nyak Din dan Teuku Umar membangun rumah tangga setelah
kembali dari pengungsian.
Keadaan
alam yang baik dan subur ini kiranya menentukan mata pencaharian rakyatnya
menjadi petani, berlayar dan berdagang sehingga rakyat merasakan kehidupan yang
makmur dan aman sentosa. Kampung-kampung di wilayah ini tersusun rapi, rumah
adat yang bertindak panggung berdiri megah di bawah naungan pepohonan yang
rindang, sehingga udaranya nyaman dan menyenangkan bagi penduduknya
Rumah
Aceh sebagai rumah adat berdiri kokoh, sekokoh adat dan tradisinya diwariskan
oleh Nenek moyang mereka. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan pada tiap
kampung di wilayah VI Mukim, di sekelilingnya dipagar rapi dan kokoh. Pagar ini
dibuat dari bambu. Dengan demikian ketertiban dan keamanan dapat terjamin.
Penjahat dan binatang tidak dapat bebas keluar-masuk ke dalam kampung tersebut.
Di
tiap kampung berdiri Meunasah tempat beribadat yang dilakukan bersama oleh
penghuni kampung tersebut. Meunasah memang peranan penting dalam bulan puasa,
karena setiap malam pada bulan puasa penghuni kampung melakukan sembahyang
tarawih bersama dan dilanjutkan dengan pembacaan AL Qur’an sampai menjelang
sahur. Bagi pemuda kampung meunasah yang berfungsi sebagai tempat istirahat dan
tidur malam. Tempat ini dapat pula menampung para musafir untuk bermalaman.
Pada hari-hari biasa meunasah ini dipergunakan untuk tempat belajar mengaji
bagi anak-anak dan untuk mengadakan pertemuan dalam memecahkan suatu masalah.
Tanggung jawab ini diserahkan kepada “Teuku Meunasah”.
Kampung
ini biasa bergabung bebrapa kelompok kecil atau kaum menjadi satu kesatuan
dalam adminitrasi pemerintahan. Pimpinannya disebut “Keucik”. Dalam menjalankan
tugas dan kewajiban sehari-hari dalam pemerintahan Keucik didampingi oleh
“Imeum”. Sedang Orang tua yang mengetahui tentang adat diangkat sebagi
penasihat dan tugasnya mendampingi Keucik dalam memutuskan suatu perkara yang
berhubungan dengan adat. Beberapa kampung kemudian bergabung menjadi satu unit
yang lebih luas dan disebut mukim. Pimpinanya disebut ketua mukim atau kepala
mukim.
Sebagi
lambang persatuannya didirikanlah sebuah mesjid. Mesjid sangat memegang peranan
dalam masyarakat karena sekurang-kurangnya setiap seminggu sekali rakyat mukim
tersebut akan bertemu dalam melakukan sembahyang jum’at di mesjid itu. Mesjid
merupakan pusat dalam dakwah Islamiyah dari para ulama dan mubalig. Dalm gerak
pembangunan berjalan sejajar dengan kebutuhan rohani menuju akhirat.
Pada
tingkatan atas dari susunan pemerintahan adalah “Sagi”. Luas wilayahnya terdiri
atas beberapa mukim yang bergabung menjadi satu kesatuan wilayah dan
pimpinannya disebut Uleebalang. Uleebalang bertanggung jawab langsung kepada
Sultan Aceh.
Cut Nyak Din lahir pada tahun 1850, di Kampung Lampadang,
wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ayahnya bernama Nanta Muda Seutia, yang berasal
dari turunan makhdum Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Beliau
adalah cokal-bakal yang membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan
makmur.
Ibunya seorang keturunan bangsawan yang terpandang dari
Kampung Lampagar. Karena Istrinya inilah maka nama Nanta Muda Seutia makin
terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim.
Pada waktu sebelum Nanta menjadi Uleebalng, wilayah VI
Mukim dipimpin oleh Uleebalang Teuku Nek dan pusat kedudukannya berada di
Meurakasa. Beliau menjalankan pemerintahan wilayah VI Mukim kurang begitu adil
dan kurang begitu bijaksana. Rakyat sangat tertekan dan menderita oleh tindakan
dan pemerasan yang dilakukan oleh Teuku Nek untuk memperkaya dirinya dan
keluarganya. Karena praktek yang merugikan ini, beliau tidak begitu disenangi
oleh rakyat VI Mukim.
Pada abad ke-17 kekuasan aceh telah meluas sampai ke
Sumatra Barat. Daerah ini sangat penting artinya bagi Aceh baik dalam bidang politik
maupun dalam bidang ekonomi. Dalam bidang politik berarti Aceh telah menanamkan
kekuasaannya dan daerah ini merupak “Vazal”. Sedangkan dalam bidang ekonomi
daerah ini merupakan menghasil lada yang sangat penting dalam pasaran dunia dan
dengan menguasai daerah tersebut berarti dapat menarik keuntungan yang banyak
bagi Aceh. Karena perkembangan ini Ratu Tajjul Alam mengangkat Uleebalang
Panglima Nanta untuk mengatur dan mengawasi daerah Vazal ini. Salah seorang
keturunanya, ialah Makhdun Sati. Dalam tubuh Makhdun Sati mengalir darah Aceh
dan darah Minangkabau.
Dalam zaman pemerintahan Sulatan Jamalul Alam
(1703-1726), Makhdun Sati berserta rombongan yang terdiri dari 12 perahu
berlayar menuju arah utara melalui pantai barat pulau Sumatra. Pelayaran ini
terdorong oleh adanya berita yang menarik hati mereka, bahwa di ujung utara
pulau Sumatra banyak terdapat kekayaan alam yang terpendam berupa emas. Dengan
menempuh perjalanan panjang dan lama, rombongan Makhdun Sati sampai di Pasir
Karam. Daerah ini terletak di pantai Barat Aceh dekat Meulaboh. Kemudian
rombongan ini tinggal menetap untuk membuat perkempungan dan memulai hidup baru
biarpun daerah ini masih asing bagi mereka.
Ketika rombongan Makhdun Sati mendarat di Pasir Karam,
sepasukan tentara Aceh sedang bertempur mengahadapi pengacau suku Mantir yang
belum memeluk agama Islam. Pasukan Aceh yang sedikt jumlahnya ini hampir
terdesak oleh pengacau Mantir yang lebih banyak jumlahnya. Melihat tekanan yang
diberikan suku Mantir, Makhdun Sati dengan rombongannya yang merasa
berkewajiban menolong sesama Islam memberikan bantuan. Kerjasama yang rapi
dapat menyebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat dikalahkan dan mereka
tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pengunungan. Dengan kekalahan suku
Mantir, daerah ini menjadi aman.
Sebagai rasa terima kasih kepada bantuan Makhdun Sati,
pimpinan pasukan Aceh dengan ikhlas memberikan daerah Pasir Karam untuk
dibagi-bagikan kepada rombongan Mukhdun Sati sebagi tempat tinggal mereka.
Kemudian dengan penuh ketekunan mereka membuka persawahan dan perladangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Rumah-rumah
dibangun dengan bergotong royong, sesuai dengan rumah adat yang ditinggalkanya.
Dalam waktu singkat Makhdun Sati serta pengikutnya telah menjadi orang-orang
makmur. Selanjutnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat,
sehingga persaudaraan terjalin secara akrab seperti di kampung yang
ditinggalkannya. Kemudian Makhdun Sati berserta rakyatnya menyatakan
kesetiaannya kepada kekuasaan Sultan Aceh.
Karena tidak adanya kepuasan, maka Makhdun Sati membawa
rakyatnya bergerak ke Utara lagi ke Muara Sungai Wolya. Daerah ini lebih subur
daripada daerah Pasir Karani. Daeraha ini terletak antara daerah Pidie dan
Gleupang. Kemudian mereka membuka persawahan dan ladang untuk menanam lada. Di
samping itu mereka menemukan biji emas yang dibawa arus Sungai Wolya. Karena
itu rakyat Makhdun Sati setiap hari dengan tekun mengumpulkan biji-biji emas
pada tempat ini. Maka dengan jerih payahnya mereka dapat mengumpulkan emas yang
banyak. Karena kemakmuran yang diperoleh rakyat
3.
Unsur
Intrinsik
1.
Tema
Cerita ini menunjukkan
seorang pribadi perempuan yang mempunyai semangat kemandirian dan semangat
memperjuangkan kota Aceh yang ia cintai. Lewat cerita ini, pembaca menjadi tahu
bagaiman struktur sosial masyarakat Aceh, hubungan suami istri dalam lingkungan
adat yang kuat, kepercayaan diri yang berlatar keteguhan hati, dan sifat
seorang pemimpin didalam medan peperangan.
2.
Tokoh
dan Watak
A. Teuku
Umar memiliki sifat seorang pemimpin yang tangguh dan pemberani di dalam medan
peperangan dan juga memiliki sifat yang setia terhadap pasangannya yaitu Cut
Nyak Dien.
B. Cut
Nyak Dien memiliki sifat yang pemberani, pantang menyerah dan tidak ingin kaum
wanita yang ada di Aceh di perkosa oleh penjajah Belanda.
C. Ayahnya
Cut Nyak Dien yang memiliki sifat pemimpin yang bagus dan ia sangat sayang
kepada Cut Nyak Dien.
D. Teuku
Cik Ibrahim sebagai suami pertama Cut Nyak Dien ia memiliki sifat yang sangat
peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
E. Ibunya
Cut Nyak Dien memiki sifat seorang ibu yang baik hati dan lebih sering berada
di dapur memasak makanan.
3.
Alur
Novel karya
Muchtaruddin Ibrahim yang berjudul “Cut Nyak Dien” ini bercerita
menggunakan Alur maju.
4.
Latar
A. Latar
Tempat
1.Wilayah VI Mukim
2.Kampung Lumpadang
3.Aceh
4.Meulaboh
B.
Latar
Waktu
1.Sehari-hari
2.Pada pagi hari
3.Semalam
4.Keesokan harinya
5.Pagi hari
C. Latar
Suasana
1.Suasana Sedih
2.Suasana peperangan
3.Suasana gembira
4.Suasana keharuan
5.
Sudut
Pandang
Dalam
novel ini, penulis berlaku sebagai orang ketiga sampingan.
6.
Amanat
Cerita
ini mengajarkan kita harus saling menjaga satu sama lain dan melindungi Negara
kita dengan bekerja sama dalam melaksanakan sesuatu dan tidak bercerai-berai
antar masyarakat.
4.
Unsur
Ekstrinsik novel
A.Nilai
budaya
Memiliki
nilai budaya yaitu rumah adat Aceh
Bukti kutipan, “Rumah Aceh sebagai rumah adat berdiri kokoh, sekokoh adat dan
tradisinya yang diwariskan nenek moyang mereka”
B.Nilai
sosial
Memiliki
sekelompok kesatuan didalam lingkungan masyarakat
Bukti kutipan, “Kampung ini biasa bergabung beberapa kelompok kecil atau kaum menjadi
satu kesatuan dalam Administrasi pemerintahan”
C.Nilai
agama
Tempat
beribadah di tiap kampung yaiutu meunasah
Bukti kutipan, “Setiap bulan puasa penghuni kampung
melakukan sembahyang tarawih di meunasah lalu dilanjutkan dengan membaca Al
Qur’an sampai menjelang sahur”
D.Nilai
moral
Kerjasama
yang dilkukan antar agama islam
Bukti kutipan, “kerjasama yang rapi menyebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat
dikalahkan dan mereka yang tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pegunungan”
5.
Kelebihan
novel
Kelebihan di dalam novel ini adalah bahasanya yang
mudah dimengerti sehingga para pembaca bisa mengerti cerita yang ada didalam
novel dan para pembaca tertarik untuk membaca.
6.
Kekurangan
novel
Kekurangan didalam novel ini adalah ceritanya
terlalu berbelit karna menggunakan banyak tempat dan tokoh yang ikut didalam
novel.
7.
Penutup
Di dalam cerita ini kita dapat belajar tentang
perjuangan para pahlawan didalam medan peperangan yang semangat memperjuangkan negara
Indonesia. Cerita ini juga mengajarkan kita untuk saling berkerjasama dan
bergotong-royong melaksanakan sesuatu.