Kamis, 03 November 2016

Resensi novel Cut Nyak din




Resensi Novel Cut Nyak Din
Judul Buku      : Cut Nyak Din
Pengarang       : Muchtarudin Ibrahim
Penerbit           : PT. Balai Pustaka
Cetakan           : 2001
Tebal Buku      : 98 halaman

1.      Kepengarangan
Cut Nyak Din dianggap sebagai orang yang lemah, hanya tunduk pada perintah seorang pria, dan berdiam diri di rumah. Kaum Wanita tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, memimpin suatu perkumpulan, atau menduduki jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia pun, kaum Wanita hanya diperintahkan untuk menyiapkan makanan untuk para penjajah dan tidak berani untuk melawan.
Latar belakang keluarga Cut Nyak Din ialah orang terpandang. Ayahnya bernama Nanda Muda Seutia. Ayahnya seorang pemimpin wilayah VI Mukim, dan Ibunya seorang keturunan wanita kebangsawan. Cut Nyak Din lahir ketika rakyat VI Mukim sedang berselisih dengan rakyat Meuraksa. Cut Nyak Din memiliki seorang Kakak Laki-laki bernama Teuku Rayut. Kakaknya memiliki fisik yang kurang sempurna,  sehingga Ayahnya sangat berharap banyak pada Cut Nyak Din untuk meneruskan pemerintahan.
Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Din dinikahkan dengan Teuku Cik Ibrahim Lamanaga. Tujuannya  untuk memperkuat pemerintahan Ayahnya. Cut Nyak Din sangat patuh terhadap Suaminya dan senantiasa memberi semangat ketika Suaminya berperang melawan Belanda. Semangatnya makin tertempa dan mulailah tumbuh suatu benih perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Suaminya tewas tertembak di Medan Perang. Ketika Teuku Cik Ibrahim meninggal. Teuku Umar mampu menggantikannya Teuku Cik Ibrahim. Cut Nyak Din bertekad untuk membalaskan dendam kepada Belanda atas tewasnya Teuku Cik Ibrahim dalam Perang Aceh. Cut Nyak Din terus mengibarkan semangat rakyat Aceh untuk terus memberikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di medan perang setelah tertembak oleh tentara Belanda. Cut Nyak Din terus melanjutkan perjuangannya untuk mengusir penjajah. Tetapi, Cut Nyak Din berhasil ditaklukkan Belanda dan ditahan. Para pengikutnya sering mengunjungi beliau. Karena dikhawatirkan akan muncul suatu perlawanan, akhirnya Cut Nyak Din diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.





2.      Sinopsis Novel Cut Nyak Din
Lampadang adalah kampung tempat kelahiran Cut Nyak Din. Luasnya kira-kira 10 Ha. Kampung ini termaksud wilayah VI Mukim dengan ibu kotanya Paukan Bada, Wilayah VI Mukim terletak di pantai utara bagian barat Aceh Besar. Di bagian utara wilayah ini berbatasan dengan laut dan terdapat Uleele sebagai pelabuhannya. Antara Tanjung dan Uleele terdapat sebuah danau yang tenang, dan dapat dipakai untuk berlabuh perahu dan kapal. Di bagian Timur wilayah ini, yaitu yang berbatasan dengan Meuraksa terdapat Kampung Bitae dan Lamjamu. Di bagian Selatan dan barat daerah ini dipagari oleh Pegunungan Ngalau Ngarai Beradin. Di bagian pantainya terdapat Kampung Lamtengah, tempat kelahiran penyair Aceh terkenal Dulkarim (Abdul Karim). Di kampung Lampagar terdapat makam Sultan Sulaiman dan Lamtah yang dihancurkan oleh serangan Belanda dalam tahun 1875. Di bagian Selatan Peukan Bada, di samping Cut Cako terdapat Ngalau Ngarai Beradin, sebuah tempat yang strategis dan menjadi tempat bertahan pejuang Aceh dan kemudian Kampung Lampisang tempat Cut Nyak Din dan Teuku Umar membangun rumah tangga setelah kembali dari pengungsian.
Keadaan alam yang baik dan subur ini kiranya menentukan mata pencaharian rakyatnya menjadi petani, berlayar dan berdagang sehingga rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan aman sentosa. Kampung-kampung di wilayah ini tersusun rapi, rumah adat yang bertindak panggung berdiri megah di bawah naungan pepohonan yang rindang, sehingga udaranya nyaman dan menyenangkan bagi penduduknya
Rumah Aceh sebagai rumah adat berdiri kokoh, sekokoh adat dan tradisinya diwariskan oleh Nenek moyang mereka. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan pada tiap kampung di wilayah VI Mukim, di sekelilingnya dipagar rapi dan kokoh. Pagar ini dibuat dari bambu. Dengan demikian ketertiban dan keamanan dapat terjamin. Penjahat dan binatang tidak dapat bebas keluar-masuk ke dalam kampung tersebut.
Di tiap kampung berdiri Meunasah tempat beribadat yang dilakukan bersama oleh penghuni kampung tersebut. Meunasah memang peranan penting dalam bulan puasa, karena setiap malam pada bulan puasa penghuni kampung melakukan sembahyang tarawih bersama dan dilanjutkan dengan pembacaan AL Qur’an sampai menjelang sahur. Bagi pemuda kampung meunasah yang berfungsi sebagai tempat istirahat dan tidur malam. Tempat ini dapat pula menampung para musafir untuk bermalaman. Pada hari-hari biasa meunasah ini dipergunakan untuk tempat belajar mengaji bagi anak-anak dan untuk mengadakan pertemuan dalam memecahkan suatu masalah. Tanggung jawab ini diserahkan kepada “Teuku Meunasah”.
Kampung ini biasa bergabung bebrapa kelompok kecil atau kaum menjadi satu kesatuan dalam adminitrasi pemerintahan. Pimpinannya disebut “Keucik”. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari dalam pemerintahan Keucik didampingi oleh “Imeum”. Sedang Orang tua yang mengetahui tentang adat diangkat sebagi penasihat dan tugasnya mendampingi Keucik dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan adat. Beberapa kampung kemudian bergabung menjadi satu unit yang lebih luas dan disebut mukim. Pimpinanya disebut ketua mukim atau kepala mukim.
Sebagi lambang persatuannya didirikanlah sebuah mesjid. Mesjid sangat memegang peranan dalam masyarakat karena sekurang-kurangnya setiap seminggu sekali rakyat mukim tersebut akan bertemu dalam melakukan sembahyang jum’at di mesjid itu. Mesjid merupakan pusat dalam dakwah Islamiyah dari para ulama dan mubalig. Dalm gerak pembangunan berjalan sejajar dengan kebutuhan rohani menuju akhirat.
Pada tingkatan atas dari susunan pemerintahan adalah “Sagi”. Luas wilayahnya terdiri atas beberapa mukim yang bergabung menjadi satu kesatuan wilayah dan pimpinannya disebut Uleebalang. Uleebalang bertanggung jawab langsung kepada Sultan Aceh.
            Cut Nyak Din lahir pada tahun 1850, di Kampung Lampadang, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ayahnya bernama Nanta Muda Seutia, yang berasal dari turunan makhdum Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Beliau adalah cokal-bakal yang membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan makmur.
            Ibunya seorang keturunan bangsawan yang terpandang dari Kampung Lampagar. Karena Istrinya inilah maka nama Nanta Muda Seutia makin terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim.
            Pada waktu sebelum Nanta menjadi Uleebalng, wilayah VI Mukim dipimpin oleh Uleebalang Teuku Nek dan pusat kedudukannya berada di Meurakasa. Beliau menjalankan pemerintahan wilayah VI Mukim kurang begitu adil dan kurang begitu bijaksana. Rakyat sangat tertekan dan menderita oleh tindakan dan pemerasan yang dilakukan oleh Teuku Nek untuk memperkaya dirinya dan keluarganya. Karena praktek yang merugikan ini, beliau tidak begitu disenangi oleh rakyat VI Mukim.
            Pada abad ke-17 kekuasan aceh telah meluas sampai ke Sumatra Barat. Daerah ini sangat penting artinya bagi Aceh baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Dalam bidang politik berarti Aceh telah menanamkan kekuasaannya dan daerah ini merupak “Vazal”. Sedangkan dalam bidang ekonomi daerah ini merupakan menghasil lada yang sangat penting dalam pasaran dunia dan dengan menguasai daerah tersebut berarti dapat menarik keuntungan yang banyak bagi Aceh. Karena perkembangan ini Ratu Tajjul Alam mengangkat Uleebalang Panglima Nanta untuk mengatur dan mengawasi daerah Vazal ini. Salah seorang keturunanya, ialah Makhdun Sati. Dalam tubuh Makhdun Sati mengalir darah Aceh dan darah Minangkabau.
            Dalam zaman pemerintahan Sulatan Jamalul Alam (1703-1726), Makhdun Sati berserta rombongan yang terdiri dari 12 perahu berlayar menuju arah utara melalui pantai barat pulau Sumatra. Pelayaran ini terdorong oleh adanya berita yang menarik hati mereka, bahwa di ujung utara pulau Sumatra banyak terdapat kekayaan alam yang terpendam berupa emas. Dengan menempuh perjalanan panjang dan lama, rombongan Makhdun Sati sampai di Pasir Karam. Daerah ini terletak di pantai Barat Aceh dekat Meulaboh. Kemudian rombongan ini tinggal menetap untuk membuat perkempungan dan memulai hidup baru biarpun daerah ini masih asing bagi mereka.
            Ketika rombongan Makhdun Sati mendarat di Pasir Karam, sepasukan tentara Aceh sedang bertempur mengahadapi pengacau suku Mantir yang belum memeluk agama Islam. Pasukan Aceh yang sedikt jumlahnya ini hampir terdesak oleh pengacau Mantir yang lebih banyak jumlahnya. Melihat tekanan yang diberikan suku Mantir, Makhdun Sati dengan rombongannya yang merasa berkewajiban menolong sesama Islam memberikan bantuan. Kerjasama yang rapi dapat menyebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat dikalahkan dan mereka tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pengunungan. Dengan kekalahan suku Mantir, daerah ini menjadi aman.
            Sebagai rasa terima kasih kepada bantuan Makhdun Sati, pimpinan pasukan Aceh dengan ikhlas memberikan daerah Pasir Karam untuk dibagi-bagikan kepada rombongan Mukhdun Sati sebagi tempat tinggal mereka. Kemudian dengan penuh ketekunan mereka membuka persawahan dan perladangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Rumah-rumah dibangun dengan bergotong royong, sesuai dengan rumah adat yang ditinggalkanya. Dalam waktu singkat Makhdun Sati serta pengikutnya telah menjadi orang-orang makmur. Selanjutnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, sehingga persaudaraan terjalin secara akrab seperti di kampung yang ditinggalkannya. Kemudian Makhdun Sati berserta rakyatnya menyatakan kesetiaannya kepada kekuasaan Sultan Aceh.
            Karena tidak adanya kepuasan, maka Makhdun Sati membawa rakyatnya bergerak ke Utara lagi ke Muara Sungai Wolya. Daerah ini lebih subur daripada daerah Pasir Karani. Daeraha ini terletak antara daerah Pidie dan Gleupang. Kemudian mereka membuka persawahan dan ladang untuk menanam lada. Di samping itu mereka menemukan biji emas yang dibawa arus Sungai Wolya. Karena itu rakyat Makhdun Sati setiap hari dengan tekun mengumpulkan biji-biji emas pada tempat ini. Maka dengan jerih payahnya mereka dapat mengumpulkan emas yang banyak. Karena kemakmuran yang diperoleh rakyat
3.      Unsur Intrinsik
1.      Tema
Cerita ini menunjukkan seorang pribadi perempuan yang mempunyai semangat kemandirian dan semangat memperjuangkan kota Aceh yang ia cintai. Lewat cerita ini, pembaca menjadi tahu bagaiman struktur sosial masyarakat Aceh, hubungan suami istri dalam lingkungan adat yang kuat, kepercayaan diri yang berlatar keteguhan hati, dan sifat seorang pemimpin didalam medan peperangan.
2.      Tokoh dan Watak
A.    Teuku Umar memiliki sifat seorang pemimpin yang tangguh dan pemberani di dalam medan peperangan dan juga memiliki sifat yang setia terhadap pasangannya yaitu Cut Nyak Dien.
B.     Cut Nyak Dien memiliki sifat yang pemberani, pantang menyerah dan tidak ingin kaum wanita yang ada di Aceh di perkosa oleh penjajah Belanda.
C.     Ayahnya Cut Nyak Dien yang memiliki sifat pemimpin yang bagus dan ia sangat sayang kepada Cut Nyak Dien.
D.    Teuku Cik Ibrahim sebagai suami pertama Cut Nyak Dien ia memiliki sifat yang sangat peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
E.     Ibunya Cut Nyak Dien memiki sifat seorang ibu yang baik hati dan lebih sering berada di dapur memasak makanan.
3.      Alur
Novel karya Muchtaruddin Ibrahim yang berjudul “Cut Nyak Dien” ini bercerita menggunakan  Alur maju.
4.      Latar
A.    Latar Tempat
1.Wilayah VI Mukim
2.Kampung Lumpadang
3.Aceh
4.Meulaboh

B.     Latar Waktu
1.Sehari-hari
2.Pada pagi hari
3.Semalam
4.Keesokan harinya
5.Pagi hari
C.  Latar Suasana
      1.Suasana Sedih
      2.Suasana peperangan
      3.Suasana gembira
      4.Suasana keharuan

5.      Sudut Pandang
Dalam novel ini, penulis berlaku sebagai orang ketiga sampingan.

6.      Amanat
Cerita ini mengajarkan kita harus saling menjaga satu sama lain dan melindungi Negara kita dengan bekerja sama dalam melaksanakan sesuatu dan tidak bercerai-berai antar masyarakat.
4.      Unsur Ekstrinsik novel
A.Nilai budaya
            Memiliki nilai budaya yaitu rumah adat Aceh
   Bukti kutipan, “Rumah Aceh sebagai rumah adat berdiri kokoh, sekokoh adat dan tradisinya yang diwariskan nenek moyang mereka”
B.Nilai sosial
            Memiliki sekelompok kesatuan didalam lingkungan masyarakat
   Bukti kutipan, “Kampung ini biasa bergabung beberapa kelompok kecil atau kaum menjadi satu kesatuan dalam Administrasi pemerintahan”
C.Nilai agama
            Tempat beribadah di tiap kampung yaiutu meunasah
Bukti kutipan, “Setiap bulan puasa penghuni kampung melakukan sembahyang tarawih di meunasah lalu dilanjutkan dengan membaca Al Qur’an sampai menjelang sahur”
D.Nilai moral
            Kerjasama yang dilkukan antar agama islam
   Bukti kutipan, “kerjasama yang rapi menyebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat dikalahkan dan mereka yang tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pegunungan”
5.      Kelebihan novel
Kelebihan di dalam novel ini adalah bahasanya yang mudah dimengerti sehingga para pembaca bisa mengerti cerita yang ada didalam novel dan para pembaca tertarik untuk membaca.
6.      Kekurangan novel
Kekurangan didalam novel ini adalah ceritanya terlalu berbelit karna menggunakan banyak tempat dan tokoh yang ikut didalam novel.




7.      Penutup
Di dalam cerita ini kita dapat belajar tentang perjuangan para pahlawan didalam medan peperangan yang semangat memperjuangkan negara Indonesia. Cerita ini juga mengajarkan kita untuk saling berkerjasama dan bergotong-royong melaksanakan sesuatu.


Selasa, 01 November 2016

Teladan Hidup Haji Agus Salim 
Haji Agus Salim dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia. Haji Agus Salim lahir dengan nama kecil Mashudul Haq yang berati “pembela kebenaran”. Beliau lahir di kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Beliau putera dari
Sultan Muhammad Salim dan istirnya Siti Zainab. Ayahnya memiliki jabatan sebagai Jaksa tinggi Pengadilan Negeri Riau. Beliau lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Negri Riau
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika beliau lulus, beliau berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Beliau bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda.
Pada tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Beliau  diangkat menjadi Ketua Redaksi. Beliau menikah dengan Zaenatun Nahar dan mempunyai 8 seoranng anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian beliau mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Beliau juga menjabat sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Beliau menjadi seorang pimpinan serikat islam.

Karier Politik Haji Agus Salim

Pada tahun 1915, beliau bergabung dengan Serekat Islam (SI), beliau menjadi pimpinan kedua di SI setelah H. O. S Tjokroaminoto. Beliau memiliki peran pada masa perjuangan kemerdekaan RI. Pada tahun 1921-1924, beliau menjadi anggota Volksraad. Beliau menjadi anggota panita 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945. Beliau menjadi menteri muda luar negri kabinet II pada tahun 1946, dan kabinet III pada tahun 1947. Pada tahun 1947 beliau juga menjadi pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir. Pada tahun 1947 beliau juga menjadi Mentri Luar Negri kabinet Amir Sjarifuddin. Pada tahun 1948-1949, beliau menjdi mentri luar negri kabinet Hatta. Pada tahun 1946-1950 beliau menjadi laksana bintang cemerlang dalam politik Indonesia, sehingga beliau mendapat gelar “Orang Tua Besar ( The Grand Old Man). Pada tahun 1950, beliau pernah menjadi mentri luar negri RI pada kabinet Presidentil. Pada tahun 1952, beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI. Pada tahun 1906-1911, beliau Agus salim berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk berkerja sebagai penerjemah di konsultan Belanda. Pada tahun 1915, beliau bergabung dengan HOS Tjokrominoto dan Abdul Muis. Pada tahun 1923, timbul perpecahan di SI.


Peran Haji Agus Salim

Beliau Haji Agus Salim salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Beliau juga membuat gerakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan. Dalam Kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta. Pada tahun 1927, beliau Agus Salim membuat persetujuan dengan pengurus Jong Islamieten Bond. Beliau Agus Salim menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, beliau diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Beliau dipercaya sebagai Mentri Muda Luar Negri dalam kabinet Syahrir I dan II, beliau juga dipercaya sebagai Mentri Luar Negri dalam kabinet Hatta. Dalam kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan The Grand Old Man, beliau dibentuk sebagai pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Beliau dikenal dengan berjiwa besar.
  
Masa Kemerdekaan

            Setelah Indonesia Merdeka, beliau Agus Salim tercatat menduduki beberapa jabatan penting di pemerintahan. Konferensi tersebut diselenggarakan atas prakasa Perdana Mentri India, Pandit Jawaharlal Nehru. Pada tanggal 4 April 1947, beliiau Agus Salim ditunjuk sebagai untuk memimpin misi diplomatik Republik Indonesia, untuk mengunjungi Negara-negara Islam di Timur Tengah. Tugas beliau adalah membawa pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Indonesia mendapat pengakuan De Jure dan De Facto berturut- turut di Mesir pada tanggal 10 Juni 1947, di Suriah pada tanggal 2 Juli 1947, di Irak pada tanggal 16 Juli 1947, di Afganistan pada tanggal 23 September 1947, dan Arab Saudi 21 November 1947.

Wafatnya Haji Agus Salim

            Pada tanggal 4 November 1954, Haji Agus Salim wafat di usia 70 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Semasa hidupnya, beliau Agus Salim tidak pernah di beri tanda jasa. Pada tanggal 17 agustus 1960, beliau mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Tingkat I, dan pada tanggal 20 Mei 1961, beliau mendapat penghargaan Satyelencana peringatan perjuangan kemerdekaan Indonesia.